Belum Berjudul…(part 1)

Hari ini, mendung menemaniku menuju stasiun seorang diri. Entah apa yang minggu lalu merasukiku sehingga aku nekat untuk berangkat ke kotamu. Hm, bukan, aku tidak senekat itu, ada dua temanku yang menemani. Mereka akan menyusulku besok karena ritme kerja yang tidak mungkin ditinggalkan. “Kamu yakin?” Tanya seorang temanku. “Kamu siap untuk kemungkinan yang akan terjadi?” Tanya yang satu lagi melalui telepon selular tepat sebelum aku menuju stasiun. “Sudahlah, anggap saja kita liburan. Jalan-jalan keliling propinsi tetangga” jawabku sok tenang. Aku hanya ingin berdamai dengan diriku, yang aku lakukan ini demi diriku.

Stasiun ini, dulu hanya tempat biasa tanpa memori. Tapi sejak saat itu, stasiun ini menjadi akhir dari sebuah kegundahan. Mataku memandang pada gerbang keberangkatan, dulu, tempat ini bukan apa-apa. Sekarang, setiap aku melangkahkan kaki ke gerbang ini, fatamorgana itu selalu menyerangku. Masuk ke alat pernapasan dan menyumbat tenggorokanku. Setahuku, hanya padang pasir yang bisa memunculkan fatamorgana. Hampir tidak ada bedanya dengan padang pasir yang membuat pengelana sesak karena kehausan, aku juga merasa sesak dengan memori ini. Aku mencoba untuk mengosongkan pikiran dan langsung menuju kereta yang akan membawaku ke kotamu. Lagu dari penyanyi tuna netra ini, membuat mendung semakin menggila.

Aku berlindung pada ular naga besi yang dapat bertahan di segala keadaan. Hatiku masih aman sementara waktu, tapi otakku diserang terus oleh pikiran liarku. Enam jam lagi, entah seperti apa hatiku. Perjalanan ke kotamu bukan menjadi hal yang asing bagiku, banyak kenalanku yang siap menjemput dan menampungku. Mencoba mengalihkan pikiran dari liarnya asumsi yang berputar di kepalaku dengan buku yang selalu aku bawa, tapi gagal. Mencoba memejamkan mata, berharap mimpi bisa melepaskanku dari banyaknya pertanyaan untuk diriku sendiri, tapi kroni-kroninya makin merajalela. Sudahlah, aku nikmati saja pikiran liarku semoga akan membuatku lelah dan tertidur. Senyaman apapun ular naga besi ini, aku selalu terbangun ketika dia berhenti. Satu jam lagi, perkiraanku setelah membaca signage stasiun ini. Oksigen terasa makin menipis, mati aku, mati hatiku, mati aku…batinku mengerang menahan sesak.

Ambience kotamu tengah malam ini, berubah seperti hawa kuburan. Membuatku merinding, membuat kakiku kaku untuk melangkah. Kenapa kotamu menjadi terasa memilukan? Seperti banyak roh patah hati yang gentayangan. Habiskah pohon-pohon disini? Napasku sesak. Kerumunan orang yang berdesakan makin membuatku limbung. Kenapa banyak sekali manusia yang ke kotamu? Tempat rindu bertemu, katamu. Hah, masih saja aku ingat itu. Sampai saat ini, aku masih membayangkan kamu menungguku di stasiun kotamu. Menjelangku dengan senyum dan peluk eratmu. Skor 2-0 untuk fatamorgana, aku harus membuatnya seri bahkan memenangkan ini.

“Nduk, tante tunggu di arah Mangkubumi ya,” suara perempuan paruh baya yang beradu dengan kebisingan parkir mengusir kesan angker kotamu. Perempuan ramah ini, pensiunan guru dan Ibu dari teman seperjalananku nanti. Aku menghambur padanya dan mendaratkan peluk dan ciumku. Batinku, masih ada yang menyambutku dengan cium dan peluk hangat di kotamu. Awalnya aku menolak untuk dijemput, tapi tante ini bersikeras katanya “Cah perempuan nggak baik tengah malam sendiri di kota orang”. Aku hanya tersenyum, membayangkan perjalananku yang ternyata hampir selalu tengah malam kalau ke kota orang. Percakapan yang menguatkan selama berada di dalam mobil. Tante mendukung rencana perjalananku yang ingin menyelesaikan semuanya untuk diriku. Besok, mati aku, mati hatiku, mati aku..batinku sambil menatap jalan dan menghela napas panjang. Oksigen di mobil ini sepertinya habis untukku sendiri.

Ketika seseorang tiba-tiba pergi tanpa alasan, sebenarnya mereka punya, tapi mereka memilih menyimpannya sendiri dan meninggalkanmu begitu saja. Apapun alasannya, dia tetap meninggalkanmu. Dikatakan atau tidak, toh tetap saja kamu akan sendiri lagi. Seperti pengecut yang bersembunyi dalam selimut, yang tidak akan membuat semua terasa baik-baik saja dengan kata yang tidak terucapkan. Ketika mereka khawatir tentang kata-kata, kamu hanya bisa menatap nanar pada lakunya yang tidak kamu duga. Ketika mereka takut mengucapkan kata ‘selesai’, mereka takut akan perpisahan, mereka takut ditinggalkan. Itu sebabnya mereka meninggalkanmu dan mengakhirinya dalam diam. Memaksamu untuk merasa ditinggalkan, akhirnya terucap kata ‘selesai’ darimu. Kamu merasa lebih baik hati tersakiti dengan kata yang terucap daripada bisu yang menusuk otak. Ketika seseorang meninggalkanmu dalam diam, maka tetaplah berjalan meskipun sendiri dan mungkin akan tersesat. Otakmu bertanya, ragamu pasti mencari jawab, tapi..ketika seseorang meninggalkanmu dalam diam, hatinya juga tersayat namun ego menyembuhkan luka miliknya. Tetaplah berjalan, meskipun sendirian..meskipun kamu masih mengucapkan namanya dalam doa dan berharap semesta berkolaborasi untuk menjawab pertanyaan tentang diam.

Ini semesta, terlalu kecil dirimu untuk terus bertanya dan berharap sebuah jawaban.

Galau itu ketika logika memintamu untuk berhenti tapi hati terlalu manusiawi dan meminta ragamu bergerak kemana yang hatimu mau. Sudah sekian lama, aku tidak akan berharap apapun. Bukan tidak berharap sama sekali, tapi berharap sedikit saja. Menjabat tanganmu sekali lagi, menyelesaikan segalanya secara adil dan beradab. Adil dan beradab, hanya untukku, karena kamu sangat tidak adil dan tidak beradab. Hujan bulan Juni ini cukuplah membasahi tanah, jangan pipiku, tidak untuk kali ini.

(Based on some memories, to be continued…)