lelaki kecilku..

Today is a World Autism Awareness Day. Begin to aware and start to care. To all families with autistic children, love them, because they are special, unique, and sometimes mysterious.

Tulisan ini merupakan sekedar sharing saya sebagai kakak kedua dari seorang bocah laki-laki tampan penderita autism. Lelaki tampan ini berusia 2,5 tahun ketika divonis menderita autism. Ketika itu, usia saya baru sekitar 20 tahun. Usia saya dan lelaki ini memang terpaut jauh. Mama melahirkan si tole ini pada umur 44 tahun. Sekali lagi, sharing ini akan mengangkat sudut pandang saya sebagai seorang kakak yang senang mengamati tingkah polah lelaki tampan ini. Pada umur 20 tahun, saya masih belum familiar dengan apa itu autisme yang sesungguhnya. Saya Cuma sering mendengar olok-olok teman SMA dan kuliah saya yang menjadikan kata ‘autis’ sebagai bahan candaan. Senang dan sedikit jengkel ketika tahu Mama mengandung lagi diusianya yang ke 44 tahun, dan saya waktu itu 17 tahun. Bayangkan, diusian yang sudah 17 tahun, saya masih akan punya adik bayi lagi. Mungkin yang tidak berada di posisi saya akan merasa senang sekali karena akan dapat mainan baru. They don’t know what will happen in everyday in my life. Perempuan ABG yang masih ingin bersenang-senang dengan teman sebaya, harus stay at home to sit a baby, hahahah! What an experience. Karena Mama bekerja, jadilah, Mbah Uti, kakak perempuan saya, dan saya yang bergantian menjaga si bungsu. Sebelum si adek masuk usia 3 bulan, saya benar-benar nggak berani untuk mengangkatnya dari tempat tidur. Bagi saya, bayi itu terlalu rapuh, yes, I was afraid. Bikin susu, gendong tengah malem kalau lagi rewel, masakin bubur, ganti popok waktu pipis dan pup, dan apapun lah yang dibutuhkan di kecil ketika Mama lagi dikantor. Karena saya masih SMA, waktu saya cukup banyak dirumah.

Menginjak usia 6-12 bulan, sebenarnya si adek sudah menunjukkan tanda-tanda yang nggak normal (saya baru menyadari ketika saya usia 22 tahun-an dan hasil dari baca buku tentang autisme). Ketika usia 6 bulan-an, sebelum bisa jalan, dia nggak bisa kalau Cuma ditaruh di kasur. Pasti rewel dan nangis. Harus digendong dan diajak jalan. Sepanjang hari, keliling didalam rumah. Entah digendong biasa atau pakai troli bayi. Lelah luar biasa. Sebelum genap 11 bulan, cowok ganteng ini sudah bisa berjalan tanpa proses merangkak. Dia merambatkan tangan pada tembok, mencoba berdiri sendiri dengan merayap disisi tembok. Prosesnya untuk berjalan hanya butuh waktu 3 hari! Genap seminggu, dia sudah bisa menaiki tangga, sehingga papa harus membuatkan pintu penghalang tangga. Si tole ini juga seperti anak yang tuli. Dia tidak akan merespon panggilan meskipun kami sudah berteriak didekatnya. Tapi, kalau ada suara TV yang dia suka, dia langsung menghampiri dan mengetuk-ngetuk tabung TV. Dia suka memainkan roda mobil-mobilan. Hanya roda, bukan memainkan mobilnya. Dia suka melihat kipas angin yang berputar, dia tidak melakukan kontak mata barang sedetik pun. Memasuki usia 2 tahun, bocah ini belum juga bicara, tidak 1 kata pun. Banyak orang bilang, kalau anak lelaki memang telat secara verbal. Sering tantrum (marah nggak terkendali). Secara fisik, dia terlihat seperti balita normal. Usia 2.5 tahun tidak ada perubahan dalam perkembangan verbal dan sikapnya untuk bisa bersosialisasi dengan keluarga terdekat. Akhirnya, dengan saran dari adik sepupu Mama, si bocah tampan ini dibawa ke psikiatri anak, seorang professor yang sudah pensiun. Tapi dengan baik hatinya mau menerima lelaki kecilku. Setelah berkonsultasi dirujuklah si adek ke Dr. Soetomo Surabaya, ditangan seorang spesialis autis, si adek diminta untuk mengkonsumsi beberapa obat dan mengikuti terapi yang ada di Dr. Soetomo. Baiklah, kami sekeluarga sepakat untuk melakukan semua pantangan dan kewajiban yang memang harus kami lakukan. Puji Tuhan, karena Mama seorang perawat dan kami dari keluarga yang terdidik secara jasmani dan rohani, penolakan dan penyangkalan bahwa tuan muda kami seorang penderita autis tidak terjadi. Sedih? Kecewa? Pasti!! Saya sempat menangis waktu tahu bahwa si tampan ini ‘tidak normal’. Tapi, ya sudah, kami harus move on. Sama – sama berjuang demi perkembangan lelaki tampan ini.

Terapi dan pengobatan selama kurang lebih 6 bulan dijalani di Dr. Soetomo, tanpa perkembangan sama sekali. Kami meminta second opinion ke rumah sakit swasta yang juga memiliki psikiatri anak. Ternyata, kami diminta untuk menghentikan obat yang sudah dikonsumsi oleh adek, karena itu adalah obat penenang. Memang, setelah minum obat itu adek jadi sangat tenang, diam, matanya kosong, sayu, dan muncul lingkaran hitam dimata. Parah!! Kami langsung stop pemberian obat, dan pindah ke sekolah terapi khusus. Konsekuensinya, si adek kembali hiperaktif dan sering tantrum. Kondisi tantrum adalah saat paling berat ketika saya harus menghadapinya sendirian. Menangis sampai membenturkan kepala ditembok, meronta dilantai, teriak-teriak nggak jelas. Dengan kondisi saya yang masih labil, saya sering malah membentak dan memarahi adek, tapi ya nggak ada gunanya. Saya yang capek berteriak. Kami seperti orang bertengkar, dia teriak saya juga teriak. Kalau sudah capek, kami sama-sama menangis. Saya masuk kamar dan menangis, meninggalkan adek yang ribut marah, teriak sambil nangis sendiri. Saya menyerah, saya bukan menjadi kakak yang baik pada saat awal-awal proses itu. Adaptasi dengan kepribadian adek yang sangat sangat sulit. Saya sangat lega kalau Mama Papa sudah dirumah.

Umur 3 tahun adek masuk sekolah khusus. Sekolah tersebut menyediakan berbagai terapi yang diikuti, terapi sensori integrasi, terapi music. Adek dilatih secara fisik untuk sensori halusnya dan mulai diajar untuk mengucap kata. Setelah 4 bulan belajar, kata pertamanya adalah ‘APA’, menyusul kata ‘MAMA’, ‘PAPA’. Kami senang luar biasa. Si ganteng bisa bicara. Dia selalu mengulang kata-kata yang sudah dia kuasai. Perubahan juga terjadi pada pola makan. Dulu, sebelum terdiagnosis autis, adek paling jago makan ice cream dan ayam produksi fast food. Untuk usia 2 tahun makan 2 cup ice cream dan 1 potong paha ayam tu sesuatu banget. Semenjak di diagnosis bahwa adek menderita ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) alias autis hiperaktif, rantai makanan yang disinyalir akan menyakitinya, kami putus. Tidak ada vitsin, tidak ada pengawet, tidak ada tepung terigu. Dia hanya mengkonsumsi sayur, daging, dan susu soya. Betul, itu saja, sampai sekarang. Pada awal-awal penghentian makanan itu, yang masih suka kasihan adalah mbah Uti. Adek masih bisa ‘merayu’ uti dengan caranya agar bisa mendapatkan makanan yang menjadi pantangan. Kalau dengan saya, sampai nangis jungkir balik pun dia tidak akan mendapat apa yang dia minta. Proses kompromi itu berlangsung sekitar 6-12 bulan pertama, ketika usianya 3-4 tahun. Keluarga berusaha untuk benar-benar mneghindari makan enak didepan adek. We did it! Persis usia 4 tahun dan saat dia masuk TK umum, dia bisa mengontrol keinginannya untuk tidak melanggar pantangan makanan. Oiya, tantrum-nya masih sering terjadi sampai usia 6 tahun. Tuan muda ini tipe perfeksionis, akan marah besar kalau ada sesuatu yang hilang dari kebiasaannya. Di usia 4 tahun dia sudah bisa membaca kalimat singkat, dan sudah bisa menjawab kalau ditanya, meskipun jawabannya sangat singkat dan bicaranya masih cadel.

Lelakiku ini menjalani sekolah khusus sekaligus terapi dan pengobatan selama lebih kurang 5 tahun. Setelah 5 tahun, dengan pertimbangan dan melihat perkembangan adek yang cukup bagus, keluarga memutuskan untuk menyudahi pengobatan dan terapi khususnya. April nanti usianya 9 tahun dan sekarang duduk dikelas 2 SD umum, lebih pintar dan lebih cerdas dari kakak-kakaknya. Mempertahanan adek di kondisi stabil memang tidak mudah. Anak dengan ADHD cenderung lemah secara fisik dan memiliki banyak alergi. Disitulah perjuangan kami. Bocah tampan ini mengajari saya untuk bisa menghadapi dan berkompromi dengannya. Membuat saya harus stay at home dan tidak bekerja diluar kota. Saya menikmati proses ini, meskipun gejolak untuk meninggalkan rumah untuk mandiri masih menggebu. Biarlah, menikmati dan mengamati proses si tampan ini tumbuh menjadi sosok yang luar biasa. Mencoba menyalurkan hiperaktifnya dengan mengikutkan si adek beberapa les (pelajaran, piano, renang). Apapun agar tenaga ekstranya itu tersalurkan dengan baik. Dia juga sudah bisa berimajinasi, bercerita dengan bahasa Indonesia-nya yang baku, mengikuti lagu band – band Indonesia dan mancanegara. Sudah bisa mencari alasan yang pintar kalau saya dan dia sedang bernegosiasi untuk sesuatu, sudah bisa main gadget, dan nilai rapor rata-rata 8 (thanks for Kak Flo). Mulai umur 4 tahun sudah bisa belajar mandiri (pakai baju/seragam sekolah, makan sendiri, sekarang sudah hafal jadwal pelajaran disekolah tiap hari tanpa harus melihat jadwal yang ditempel dimeja belajarnya). Untuk bersosialisasi, tampaknya memang masih memerlukan waktu dan proses yang panjang. Tapi lumayanlah, dia bisa mengingat nama-nama teman di sekolah. Siapa yang nakal, siapa yang baik, siapa yang mau bermain dengan dia, yang suka membully dia. Saya agak tenang ketika dia sudah bisa mulai bercerita mengenai kesehariannya di sekolah.

Saya sering trenyuh kalau melihat teman-teman si tampan ini tidak bisa melanjutkan terapi karena kendala dana. Karena memang biaya yang diperlukan tidak sedikit. Mereka memutuskan untuk menghentikan terapi sebelum kondisi si anak benar-benar membaik. Tidak lama berselang, kondisi mereka akan drop lagi, kembali nol. Sedih dan kecewa juga kalau melihat ada orang tua yang berulang-ulang menyangkal bahwa anak mereka menderita autis. Dibiarkan tanpa perawatan dan penanganan khusus. Entah kenapa..malu?mungkin. Tidak ada biaya, juga mungkin. Penyebab autisme juga belum pasti. Saya pasti akan cerewet kalau tahu ada teman atau keluarga yang sedang hamil. Untuk tidak mengkonsumsi makanan yang berpengawet, meminimalisir konsumsi binatang laut (udang, kerang, kepiting, ikan) karena limbah dilaut jahat sekali. Tapi apapun itu, bagaimanapun kondisi seorang anak..mereka adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua.

Tulisan ini hanya sekedar sharing hidup seorang kakak yang berusaha menghadapi adiknya yang spesial. Berbagi pengalaman hidup bersama lelaki kecil penderita ADHD. Saya tahu, bawa autisme tidak bisa disembuhkan. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan. Orang-orang terdekat akan sangat berpengaruh bagi perkembangannya secara menyeluruh. Tapi mereka bisa hidup seperti layaknya orang normal, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain. Bacalah buku, tanya mbah google, jangan malu bertanya tentang autisme, dan jangan malu pada AUTISME!!

Sebentar lagi ultahmu, Aries kecil! I love you, lelakiku yang tampan!! You teach me how to love unconditionally.

(office, 2/4/13)

2 thoughts on “lelaki kecilku..

  1. Syalom…
    Terharu sekali mbaca kisah anda, sy seorg ibu yg memiliki anak autism 4thn, sy mohon info dmna adik anda terapy, mdhn anak ganteng sy jg bs mandiri sperti adik tercinta, tks Jbu

    1. Hai mbak Rini,

      Terima kasih sudah membaca tulisan saya. Adik saya therapy di Sekolah Harapan Bunda, Pucang Jajar Tengah Surabaya.
      Semoga info ini bisa membantu, ya.. Salam untuk si kecil. 🙂

Leave a comment